Cerita dibalik Paris yang Romantis

“Ke Paris yuk!”

“Kapan-kapan aja ya, kan dekat”

Di lain waktu

“Kamu kok ga tertarik ke Paris sih. Yang lain pada pengen ke Paris kamu malah gaya banget belum mau.”

“Takut aku, ntar aja ah kapan-kapan. Sekalian ke Disneyland nya.”

Bukan hanya sekali atau dua kali suami mengajak saya ke Paris. Jarak Belanda ke Paris tidak lah terlalu jauh. Dari tempat kami, sekitar 4.5 jam berkendara. Dia ingin sekali ke Paris karena ingin melihat keadaan di sana setelah banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini di Paris. Dia ingin mengamati beberapa hal di sana sekaligus bernostalgia yang entah beberapa tahun lalu terakhir ke Paris. Intinya dia ingin sekali ke Paris dengan saya.

Saya, justru kebalikannya, tidak merasa nyaman karena selain banyaknya kejadian yang meresahkan di Paris, juga mungkin karena saya banyak membaca berita-berita atau tulisan yang tidak menyenangkan tentang Paris. Dari penipuan, pencopetan, kumuh, banyak gelandangan, banyak pengemis, belum lagi tindakan kriminal lainnya. Semakin was was lah saya dan menjadikan Paris tempat yang nanti-saja-untuk-dikunjungi. Harus diakui bahwa saya termakan dengan pemberitaan tidak baik mengenai Paris. Padahal saya belum pernah ke sana, tapi entah kenapa ketakutan sudah hinggap terlebih dulu di otak saya. Melenyapkan ingatan pada masa remaja tentang kota Paris yang Romantis.

Cathédrale Notre-Dame de Paris
Cathédrale Notre-Dame de Paris

Bagian dalam Cathédrale Notre-Dame de Paris
Bagian dalam Cathédrale Notre-Dame de Paris 

Ketika Adik berlibur ke Belanda, dia tidak ada permintaan khusus ingin mengunjungi negara tertentu di sekitar Belanda. Suami lalu kembali dengan ide untuk mengunjungi Paris ditambahi dengan kata-kata, “mumpung Adik ada si sini, dia pasti senang sekali kalau diajak ke Paris.” Kali ini saya tidak bisa mengelak lagi. Saya pikir benar juga, selagi dia ada di Belanda, tidak ada salahnya kami ke Paris di akhir pekan. Rencana kami ini tentu saja disambut dengan wajah gembira dan penuh semangat oleh Adik. Saya mencoba meminggirkan segala pikiran buruk tentang kota ini dan mengingat kembali betapa Paris itu Romantis. Meskipun ya tidak sepenuhnya berhasil karena kecemasan tetap saja ada. Biasanya saya yang mengurusi tentang tempat menginap dan rencana perjalanan, tapi karena melihat saya agak malas-malasan, maka kali ini suami yang mengurus semuanya.

Pas sekali perjalanan kami ke Paris beberapa hari sebelum ulang tahun ke 3  perkawinan. Jadi saya pikir, hadiah untuk kami, ke tempat yang romantis. Nanti ada yang bisa diingat kalau kami ke Paris dalam rangka juga ulang tahun ke 3 perkawinan. Kurang romantis apa coba *dipas-pasin 😅

Kami berangkat Jumat pagi, karena sebelum ke Paris kami mampir dulu ke kota Leuven yang ada di Belgia. Selain istirahat sejenak menyetir juga dari hasil penelusuran di google, Leuven ini kotanya cantik. Singgah beberapa jam di Leuven, kami melanjutkan perjalanan ke Paris. Sampai Paris sekitar jam 8 malam. Setelah menaruh barang-barang di kamar, (Adik mendapat kamar di lantai 1, kami di lantai 5 dan tidak ada lift nya pula. PR banget deh ini) kami makan malam di restoran sekitar hotel. Untungnya tidak jauh.

Menuju ke Louvre Museum
Menuju ke Louvre Museum
Louvre Museum
Louvre Museum
Louvre Museum
Louvre Museum

Keesokan pagi setelah sarapan, kami meninggalkan hotel sekitar jam 9 pagi. Saat sarapan, saya bertanya ke mas yang jaga tentang trik dan tips supaya tidak kecopetan. Masih lho saya cemas dicopet atau ditipu. Ya maklumlah, sewaktu di Jakarta saya pernah dua kali kecopetan dan itu membekas sampai sekarang. Jadi saya selalu punya rasa cemas yang berlebihan kalau di tempat yang ramai. Takut dicopet. Nah, mas yang jaga ini dengan penuh semangat memberikan tips supaya berhati-hati dengan barang bawaan kami. Misalkan, kalau selesai memfoto dengan Hp, lebih baik Hp segera disimpan lagi jangan ditenteng karena bisa diincar untuk dijambret, lalu kalau ada orang yang tiba-tiba menjatuhkan sesuatu jangan langsung diambil. Itu biasanya salah satu cara pengalihan perhatian karena komplotannya nanti yang akan beraksi mencopet. Sama juga kalau misalkan ada orang yang tiba-tiba datang sambil bawa peta, itu juga patut dicurigai jangan langsung percaya. Lebih baik menghindar saja. Dan ada beberapa tips lainnya tapi saya sekarang agak lupa apa. Karena mencoba berhati-hati juga saya sampai memperingatkan beberapa kali ke Adik yang membawa tas punggung untuk tidak usah bawa paspor, (bawa fotocopy saja) dompet ditinggal, tas diisi air saja dan camilan makanan, lalu kamera dicangklong di leher. Suami juga saya peringatkan beberapa kali untuk selalu menutup tasnya. Kebiasaan di Den Haag ya, santai aja gitu kalau tas terbuka. Saya mana bisa, selalu berungkali memastikan kalau tas tertutup dengan baik.

Kami naik metro menuju ke Notre-Dame dan membeli tiket yang paket satu hari. Sebelumnya, niat saya sebenarnya ingin ke toko buku Shakespeare and Company yang muncul di beberapa film salah satunya Before Sunset. Letak toko ini sebenarnya tidak jauh dari Notre-Dame. Tapi setelah turun dari metro, saya berubah pikiran. Lebih baik kali ini mengunjungi tempat-tempat yang ikonik dulu di Paris. Kalau kesempatan berkunjung ke Paris lagi, baru menjelajah ke tempat-tempat lainnya.

Kunjungan pertama kami ke Notre-Dame. Sesampainya di sana, sudah ramai sekali. Antrian untuk masuk katredal mengular dan berbelok-belok. Ternyata masuknya gratis. Meskipun antriannya panjang, tapi tidak terlalu lama menunggu. Saya semakin penasaran seperti apa di dalamnya. Kami mengantri bergantian antara saya, adik, dan suami. Jadi saya sesekali bisa duduk. Sesampai di dalam, saya tidak bisa berlama-lama karena rame sekali. Daripada pening, saya cepat-cepat keluar dan menunggu adik di luar bersama suami.

Setelah dari Notre-Dame kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Museum Louvre. Tempatnya tidak terlalu jauh. Sepanjang jalan kaki ke Louvre di trotoar dipinggir sungai Seine, kami mampir-mampir melihat beberapa stan yang menjual kartupos atau barang antik lainnya. Saya tergerak untuk membeli beberapa kartupos dengan desain yang unik untuk dikirimkan ke beberapa teman dan untuk saya simpan sendiri. Senang deh memperhatikan stan-stan kecil di sepanjang trotoar menuju ke Louvre. Barang-barang yang mereka jual juga unik dan antik.

Sesampai di Louvre Museum, juga sudah ramai. Maklum, musim panas, musim liburan dan ini adalah Paris. Disetiap sudutnya pasti ramai. Saya terkesiap sesaat melihat bangunan kaca di depan saya, yang selama ini hanya saya lihat jika berselancar  di dunia maya. Megah, menarik, dan tentu saja ramai. Saya pernah membaca kalau untuk masuk ke museumnya, lebih baik membeli tiket secara online untuk memangkas antrian. Awalnya kami tidak ada rencana masuk ke museumnya. Tapi ya, suami pasti gatal lah ya kakinya sudah ada di area museum tapi tidak masuk. Akhirnya dia beli online tiketnya pada saat itu juga. Daya tarik terbesar museum ini adalah lukisan Mona Lisa. Tapi buat dia, yang namanya museum pasti semua isinya menarik. Kalau saya ya, langsung ke tempat yang paling jadi sorotan saja. Selebihnya mengamati seperlunya lalu duduk-duduk menunggu. Museum Louvre ini sangat besar. Butuh satu hari sepertinya untuk menjelajah semua ruangannya.

Awalnya saya tidak tertarik untuk mendekat karena melihat kerumunan yang berjubel. Tapi begitu melihat suami merangsek ke depan, jiwa kompetitif saya muncul, ikut masuk ke kerumunan haha. Lalu beberapa orang memberi saya akses untuk ke depan. Akhirnya saya benar-benar di depan persis lukisan Mona Lisa. Entah karena memang tersihir oleh senyumnya atau karena memang malas, saya tidak mengambil foto lukisan tersebut dari jarak dekat. Cukup saya simpan dalam memori otak kalau saya pernah sedekat itu. Ada lho yang niat sekali memoto menggunakan ipad segede gaban, pose sampai berkali-kali pula dan sampai pindah ke beberapa sudut.

Orang-orang di depan lukisan Mona Lisa
Orang-orang di depan lukisan Mona Lisa
Kerumunan tampak depan untuk melihat lukisan Mona Lisa dari dekat. Foto : nyomot dari twitter suami 😀
Kerumunan tampak depan untuk melihat lukisan Mona Lisa dari dekat. Foto : nyomot dari twitter suami 😀

Perjalanan selanjutnya menuju ke Arc de Triomphe. Saya mengusulkan untuk naik metro saja. Tapi suami bilang sayang kalau harus naik metro karena nanti kami akan melewati taman kalau ke sana sambil berjalan kaki. Masalahnya saya sangsi apa sanggup jalan kaki sejauh itu. Sepertinya sih dekat ya karena bangunannya nampak dari Louvre. Ya sudahlah, akhirnya kami berjalan kaki, dengan sesekali harus berhenti sejenak kalau saya sudah merasa capek, sambil makan crepes isi coklat 😅.

Sebelum sampai ke Arc de Triomphe, kami melewati Concorde. Di sekitar Concorde ini bagus-bagus bangunannya. Suasananya juga menyenangkan. Saya sempat bercerita ke suami sepanjang perjalanan kalau ada beberapa bangunan di Indonesia yang menyerupai bangunan-bangunan yang ada di LN. Contohnya di Kediri ada yang mirip Arc de Triomphe, di Bekasi ada yang mirip Louvre meskipun terbalik, bahkan saya beberapa waktu lalu membaca ada tempat wisata yang menyerupai Stonehenge. Saya juga tidak terlalu paham awal mula tempat-tempat tersebut ada.

Kami melewati area perbelanjaan dengan toko-toko segala merek terkenal. Nama areanya The Champs-Elysées. Sebenarnya area ini bukan hanya perbelanjaan saja sih karena ada restoran, hotel, cafe, cinema dan teater. Suami tiba-tiba nyelutuk, “ini semacam Malioboro kali ya kalau di Indonesia.” 😅 Lah, brand nya saja bedaaa Mas. Rame sekali di sini, kayaknya semua turis tumplek blek. Entah memang untuk berbelanja atau seperti kami, menuju ke Arc de Triomphe.

Akhirnya sampai juga ke Arc de Triomphe. Wah besar sekali ternyata. Megah. Sepertinya bisa naik karena saya melihat di atas banyak sekali orang. Tapi kami memutuskan untuk melanjutkan ke Eiffel. Kali ini naik metro karena untuk jalan kaki saya sudah tak sanggup haha. Sekalian menghemat tenaga juga.

Concorde
Concorde
Arc de Triomphe
Arc de Triomphe

Saya kok deg-degan ya selama di Metro menuju ke Menara Eiffel. Rasanya seperti mau ketemuan dengan seseorang yang ditaksir. Mungkin karena selama ini saya cuma melihat Eiffel dari berbagai media, tidak secara langsung, jadi begitu akan melihat secara nyata rasanya benar-benar membuat deg-degan.

Dan benar saja, semakin mendekati Eiffel, saya semakin antusias. Begitu sudah ada di bawahnya, duh rasanya girang sekali. Saya senyum-senyum terus, bahagia bukan main. Rasanya kayak, “ini beneran ya ada di Eiffel.” Haha norak ya, tidak masalah. Namanya juga gembira ya. Antrian untuk naik sangat mengular. Kami cuma lewat saja dan memilih mencari toilet untuk saya karena sudah menahan kencing. Kami sempat berpikir, di tempat yang ramai ini kenapa tidak nampak banyak polisi atau militer ya. Kalau misalkan ada kejadian trus bagaimana.

Eiffel sudah didepan mata, maka harus diabadikan dalam berbagai pose. Adik saya sampai bosen jadi tukang foto dadakan haha. Mumpung ya mumpung liburannya bertiga, jadi kami bisa punya banyak foto berdua.

Eiffel Tower
Eiffel Tower
Eiffel Tower jepretan suami
Eiffel Tower jepretan suami

Dari Eiffel, kami ke tempat selanjutnya yaitu Sacré-Coeur. Saya tidak naik sampai atas, sementara suami ke atas dan adik saya memilih duduk-duduk. Saya sendiri muter dari satu toko ke toko lainnya. Karena memang banyak sekali toko untuk membeli oleh-oleh di sini. Kenapa saya tidak ikut naik, karena sudah capek *lah tapi keliling toko masih kuat 😅

Sacré-Coeur
Sacré-Coeur
Stasiun Metro
Stasiun Metro dari twitter suami (@ewaldkegel)

Total satu hari kami berjalan kaki itu 24km. Saya tahu karena memakai jam tangan yang bisa menghitung langkah dan dalam km saat berjalan kaki. Pantas saja, ketika sampai penginapan jam 11 malam rasanya badan rontok, belum lagi harus naik ke lantai 5. Prestasi lah ini untuk saya saat ini, walaupun sering harus duduk sejenak kalau kecapaian dan ribet cari toilet berungkali karena beser.

Dan bagaimana tentang ketakutan saya akan hal-hal yang saya khawatirkan sebelumnya? Tidak terbukti meskipun memang perasaan was was itu terus bergelayut satu hari penuh. Hal ini yang membuat saya sangat awas dengan barang bawaan kami. Lebih baik awas daripada kehilangan.

Keesokan hari saat dalam perjalanan pulang, kami mendengarkan berita di radio. Ternyata sekitar jam 21.30 di Eiffel itu ada kejadian seorang lelaki membawa pisau menuju ke keramaian sambil bertakbir. Deg!!! Entah kenapa badan saya langsung lemes mendengar itu. Membayangkan kalau saya masih ada di sana, trus panik, dan saya tidak bisa berlari kencang. Padahal kami berencana akan tinggal lebih lama di sekitar Eiffel untuk melihat lampu di Eiffel, kan semakin romantis. Tapi karena saya ribet mencari toilet, akhirnya kami membatalkan untuk tinggal lebih lama di Eiffel. Saat kami pergi sekitar jam 19.30. Berarti dua jam sebelum kejadian. Alhamdulillah kami masih dilindungiNya. Memang tidak ada korban karena polisi langsung bergerak cepat. Tapi kalau saya masih ada di sana, aduh panik sekali! Dan ini jadi berita Internasional. Kalau penasaran, coba bisa dicari kejadian di Eiffel tanggal 5 Agustus 2017.

Terlepas dari Paris yang memang setelah saya buktikan sendiri ada tempat-tempat yang kumuh, ada banyak gelandangan, pengemis, kriminalitas, tapi setelah mengunjunginya, Paris tetaplah yang seperti bayangan saya saat masih usia remaja. Paris yang Romantis. Meskipun saya sepanjang hari waspada luar biasa saat berada di keramaian, tapi Paris tetaplah Indah, yang membuat saya mendadak jadi nempel terus ke suami sepanjang hari *biasanya nggak. Jika ada kesempatan dan waktu, saya ingin berkunjung kembali ke Paris. Mendatangi tempat-tempat yang tidak terlalu ramai, kembali merasakan Paris yang Romantis.


-Nootdorp, 20 Agustus 2017-